Selasa, 29 Maret 2016

Rimba Belantara


Rimba Belantara
Oleh: Ani Wijaya
Medali kelulusan dikalungkan, tali toga sudah pula disampirkan. Resmi, seorang Rimba menyandang predikat sarjana teknik informatika. Sesuai cita-cita Ayah dan harapan Ibunda.
“Ijazahku, Ayah...” secarik kertas serta seuntai medali warna emas disodorkan kehadapan orang tua dengan kacamata silinder bertengger di hidung.
“Kalau begitu kau siap menerima jabatan direktur di perusahaan keluarga kita. Ayah sangat bangga padamu, terutama karena kau berhasil jadi lulusan terbaik.”
Raut penuh kepuasan, kerutan di dahi yang kerap terukir kini seolah lenyap. Terhapus tawa lebar, binar kedua mata memancarkan haru.
“Jangan memaksa, dari awal aku sudah sampaikan pada Ayah,” intonasi pria muda ini meninggi, “restui Rimba untuk menentukan jalan hidup sendiri.”
Penolakan tegas saat itu juga, tak mau membuang waktu. Meski momen sempurna penuh kebahagiaan ini jadi cacat.
“Kamu mau melakukan apa? Berkeliaran di alam bebas? Kehidupan macam apa itu!” kalimat berselimut amarah membuat tujuh garis dikening sekarang tergambar jelas. Tatap berubah dingin, senyum seketika menguap.
Demi menghindari perdebatan berkepanjangan pemuda bertubuh tegap ini menghilang di balik pintu kamar. Helai demi helai pakaian dimasukkan ke dalam tas ransel carrier warna biru. Sahabat setia disetiap pendakian. Jelajahi gunung dan hutan. Nikmati keagungan Sang Pencipta.
Perempuan bersahaja mendekap sulungnya dari belakang. Tak terasa, 21 tahun berlalu. Kini bahu Rimba rata dengan kepalanya. Postur tinggi besar, diturunkan dari suaminya pada anak ini. Meski hanya lelehan mengkristal yang tampak di paras ayu milik perempuan itu. Rimba tahu, Ibu berharap ia akan mengubah keputusan untuk pergi. Dikecup pucuk rambut wanita bertubuh kurus ini. Seraya berikan dekap erat, dalam hati ikut menangis.
“Kemanapun merpati terbang, ia tak akan pernah tersesat saat harus pulang. Jangan khawatir Ibu, Rimba pasti kembali.”
Kata-kata perpisahan hanya akan semakin lukai hati. Maka dia memilih diam, ucapkan doa dan restu dalam batin. Berharap Yang Maha Kuasa selalu melindungi anak lelakinya. Berbeda dengan suaminya, dikuasai amarah, hingga menolak menemui Rimba. Memilih berdiam diri di ruang kerja. Tapi tiada seorangpun tahu, kalau lelaki tua ini terus menatap punggung putra kebanggaan hingga lamat-lamat hilang di balik pagar tinggi rumah mereka. Ayah mana yang tidak menyayangi anaknya. Kecewa sudah pasti, namun dia tetap mendoakan kebaikan untuk Rimba. Paham benar dengan jiwa petualang yang tak dapat dibendung oleh apapun.
Derum kuda besi yang ditunggangi pemuda ini membahana. Ikut menabuh genderang semangat dalam jiwa. Kali ini tak ada lagi halangan untuk jelajahi tempat manapun yang dia ingin. Sebelum diwariskan padanya motor ini digunakan Kakek Bima, orang tua sang ibu. Untuk mencapai perkebunan. Kemudian jelajah hutan hingga ke bagian terdalam. Selalu luangkan waktu memberikan perhatian pada kelestarian hutan dan habitat satwa di dalamnya. Menurut Kakek dunia ini terlalu indah jika hanya dilewatkan dengan berdiam diri.
Rimba kecil kerap membonceng di bagian depan, kedua tangan mungil berpegang pada tangki bensin berwarna merah pekat. Tawa riang tak henti terlontar, kegiatan yang paling dia senangi. Memasuki hutan bersama, melihat pohon pohon raksasa dan satwa yang tinggal di dalamnya. Menyelamatkan burung atau hewan lain yang terluka akibat pemburu, untuk kemudian melepaskan kembali ke alam setelah pulih.  Sejak itu kecintaan pada hutan tumbuh subur dalam hati. Akar tertancap kuat dalam jiwa. Membuat lelaki ini merindukan lagi dan lagi bercumbu dengan alam.
“Gunung lagi gunung lagi...” hanya Ayah yang tidak suka dengan kegiatan mendaki. Menurutnya hal ini cuma membuang waktu.
***
Kali ini komunitas Brotherhood For Nature mengadakan acara mengunjungi Gunung Tikukur Ciwidey. Untuk mengadakan konservasi hutan yang berbatasan dengan perkebunan teh patuha. Tak kurang dari 20 anggota ikut bergabung, memacu motor trail mereka ke pelosok pedesaan.
Mengusung program sosialisasi pelestarian hutan dan hewan pada penduduk sekitar. Serta mengantarkan sejumlah primata ke pusat rehabilitasi milik Aspinall Foundation, berlokasi tepat di bawah Patuha Resort. Di Indonesia yayasan ini bekerja sama dengan Perum Perhutani dan BKSDA.
Menampung primata endemik lokal berupa owa jawa, lutung dan surili. Didapat dari kebun binatang luar negeri yang mengembalikan hewan ini. Selain itu anggota Brotherhood For Nature (B4N) juga memantau berbagai media sosial. Untuk mendapat info tentang hewan yang terlantar, dijual atau dipelihara oleh penduduk.  Sehingga bisa secepatnya dijemput dan dibawa ke pusat rehabilitasi.
“Bonceng ini?” tegas Rimba, hampir tak percaya dengan penglihatannya.
Sebuah box besar, berisi surili hasil sitaan dari penjual hewan di pasar gelap. Rimba menggendong di pundak kemudian melajukan motor dengan hati-hati.
Komunitas B4N tiba bersamaan di lokasi. Sejenak melepas lelah di sebuah ruangan tamu, merangkap dapur atau tempat tidur. Dijamu dengan seteko besar teh tubruk panas. Lengkap dengan singkong goreng. Tanpa menunggu aba-aba pasukan ini segera menyerbu dan melahap habis. Meneguk segelas teh hingga tandas.
"Hatur nuhun, Mak," ucap seorang anggota dengan logat sunda. Namanya Kang Dedi, senior komunitas ini. Perempuan tua bertubuh gempal ini mengangguk sambil tersenyum. Kemudian meninggalkan mereka.
"Gak ada gadis desa yang cantik gitu..." seloroh pemuda yang berasal dari Jakarta.
Setelah selesai melepas lelah, Kang Dedi mengajak mereka lanjutkan perjalanan menuju lokasi kandang satwa. Berukuran kira-kira 2,5 x 2,5 m, dengan alas keramik.
Rimba menurunkan box kandang dari pundak dengan hati-hati. Tak terdengar suara apa-apa dari dalam. Mungkin hewan ini takut, atau stres dan kelelahan setelah perjalanan jauh.
Seseorang tampak berdiri di depan kandang. Tubuhnya dibalut jaket hijau lumut, selembar masker menutupi bagian wajah, menyisakan kedua binar matanya. Sebuah topi hitam bertengger di kepala. Celana gunung coklat gelap dilengkapi sepatu boot setinggi betis.
Ember berisi ubi, kangkung dan beberapa buah sirsak mentah ditenteng. Dia meletakkan di atas wadah makanan dalam kandang. Tentu saja beberapa primata di dalam langsung menyerbu. Berebut makanan kemudian melompat bergelantungan. Surili, owa jawa dan lutung memekik bersahutan.
Kang Dedi melambaikan tangan ke arahnya. Dibalas dengan acungan jempol, kemudian segera mengayunkan langkah ke arah rombongan B4N.
Senyum manis terkembang saat ia menarik masker ke bawah dagu. Sambil membuka topi kemudian menyeka kening halusnya dengan punggung tangan. Cantik. Lalu merapikan kerudung yang dipakai. Pantas saja terlihat seperti sesosok pria, karena dari ujung rambut hingga kaki begitu tertutup.
“Kenalkan nih,” dari cara lelaki ini bicara, mereka pasti sudah akrab.
“Rimba,” sambil mengulurkan tangan, “Tara, panggil saja Teteh,” jawabnya sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. Membuat pemuda ini reflek menarik uluran tangan dan lakukan hal yang sama.
“Dokter hewan sudah datang?” Tanya Kang Dedi pada perempuan ini.
“Sudah Kang, kemarin sore.”
“Buat apa dokter hewan kemari? Apa ada satwa yang sakit?” Selidik Rimba penasaran.
“Selama masa karantina, kurang lebih 2 sampai 3 bulan, mereka dipantau dokter hewan. Setelah terlebih dahulu dibius, lalu darahnya diambil untuk pengecekan penyakit. Selain itu bagian gigi diperiksa untuk menentukan umur, juga mengecek kesehatan mata. Agar bisa diketahui apakah hewan ini memiliki penyakit atau tidak.”
Rimba mengangguk, sambil mengernyitkan dahi, “Penyakit apa saja yang biasanya diderita primata?”
“TBC, Herpes, Jantung, Perut kembung, Paru-Paru, Demam, Hepatitis, banyak lagi penyakit lain.”
Kang Dedi bersama seorang petugas membuka box tempat surili. Kemudian melepaskan dalam kandang karantina. Sebagai anggota baru, ia menempati kandang sendirian. Agar merasa lebih nyaman dan tidak ketakutan oleh para seniornya yang sering jahil pada penghuni baru.
“Setelah proses karantina mereka dipindahkan ke kandang sosialisasi. Kita membangun habituasi di daerah primata ini dilepaskan. Dibuat semirip mungkin dengan aslinya,” Kang Dedi menambahkan.
“Wah, saya tak sabar Kang,” ujar Rimba.
“Nanti, kamu pasti berkesempatan melihat habituasi. Selain pada saya jika ada sesuatu yang kurang jelas, tanyakan pada Teteh Tara. Dia ini leader of keeper and officer di Aspinall.”
“Kang Dedi bisa saja, saya cuma membantu sedikit di sini,” timpal Tara tersipu.
Sesuai agenda hari ini, tujuan berikut adalah kunjungan masyarakat sekitar. Sebuah perkampungan dimana mayoritas penduduknya adalah pegawai perkebunan teh patuha. Putra putri mereka kadang ikut membantu memetik teh, juga bercococok tanam. Tapi sayang sekali saat hari libur dan orang tua mereka tidak berkebun. Anak-anak sering masuk ke hutan untuk menebang pohon dan berburu.
Bocah-bocah perkebunan berlarian kerubuti mobil bak pengangkut kardus coklat besar bertumpuk. Para panitia anggota BFN dengan sigap menurunkan satu persatu. Sebagian lagi mengajak teman kecil mereka ini untuk duduk membentuk lingkaran di tengah padang rumput. Kadang digunakan sebagai lapangan bola, lokasi lomba perayaan hari kemerdekaan, juga tempat sholat saat idul fitri dan idul adha tiba.
Tara berdiri di tengah, mengajak bersorak sorai sambil tepuk tangan, “Siapa yang mau mewarnai gambar hewan?” Tara berseru, disambut jawaban riuh penuh semangat sambil mengacungkan sebelah tangan tinggi-tinggi.
Tergambar seekor lutung dan owa jawa tengah bergelantungan di pohon. Dilatar belakangi gambar hutan lebat.
“Ada yang tahu, ini gambar apa?”
“Lutung, Teh...” mereka kembali menjawab dengan serempak.
“Dimanakah lutung dan owa jawa tinggal?”
“Di hutan...”
“Apa yang harus kita lakukan agar lutung bisa tetap hidup?”
“Kita tidak boleh merusak hutan, Teh...” mereka kembali berseru.
“Betul sekali, karena selain lutung masih banyak hewan lain yang menjadikan hutan sebagai tempat tinggalnya.” Mereka kembali berebutan menyebutkan satu persatu hewan apa saja yang hidup di hutan.
Selagi rekan-rekannya  membagikan alat mewarnai, Tara memberikan penyuluhan tentang pentingnya menjaga hutan. Dia menyampaikan dalam bentuk  cerita menarik sehingga anak-anak suka dan memperhatikan dengan seksama. Juga menghimbau agar mereka tak lagi berburu hewan di hutan Atau menangkap untuk dijadikan peliharaan. Tampaknya sedikit-sedikit para bocah mulai memahami. Dan berjanji tak akan lagi melakukanperusakan dan perburuan di hutan.
“Jadi kita boleh saja apabila ingin bermain di hutan, tetapi tidak boleh merusaknya sama sekali. Kecuali hutan lindung, kalian jangan coba-coba masuk dan bermain dengan bebas di dalamnya.”
 “Cakra punya lutung di rumahnya, Teh...” bocah-bocah bersahutan sambil menunjuk ke arah anak kecil yang memilih memisahkan diri.
Dia menunduk semakin dalam sambil mainkan ujung baju dengan jemari, “Memang saya jahat ya Teh...” Cakra terisak, “saya mah cuma mau menolong, kasian kalo nanti enggak diambil lutungnya bakalan mati.”
Logat sunda kental terdengar dari bibir mungilnya yang kini digigit kuat-kuat menahan isak tangisnya.
“Cakra tidak jahat. Justru hebat,” timpal Tara, “tapi seharusnya lutung diserahkan kepada kami untuk di rawat dan dikembalikan ke hutan. Kamu mau kan menunjukkan pada Teteh di mana lutungnya sekarang?” disambut anggukan bocah ini, meskipun raut parasnya terlihat sedih.
Selesai mewarnai, tim B4N membagikan jas hujan sebagai hadiah tambahan. Pemberian yang tepat sebab saat ini memang sedang musim hujan. Selain itu banyak sponsor yang memberikan partisipasi berupa tas dan alat tulis. Hari ini mereka sangat bergembira, kemudian bubar setelah terlebih dahulu menikmati makan siang.
***
Rumah bilik, hanya ada dua ruangan di dalam. Satu ruang tamu, merangkap kamar tidur, ruang keluarga, juga tempat belajar. Satu lagi dapur dengan tungku batu bata sebagai kompor. Tak ada meja makan, kamar mandi ditempatkan jauh di luar rumah. Di sebelah kandang kambing. Tapi Bapak menjual waktu Cakra minta disunat.
“Ini Teh, si lutung,” suara anak ini berubah lirih.
“Jangan sedih, nanti Kakak akan ajak ke kandang untuk mengantar,” janji Tara, membuat raut  Cakra berubah sumringah.
Rimba kembali menggendong box di pundak setelah lutung berhasil masuk berkat bujukan sang sobat kecil. Sementara perempuan berjilbab hijau muda ini bonceng Cakra di belakangnya. Ia melambaikan tangan pada teman-temannya, membuat mereka serukan  nama Cakra berulang-ulang.
 “Kak Rimba!” seorang gadis berseru dari kejauhan sambil berlari kecil.
Beberapa lelaki menurunkan kerangkeng dari mobil bak,  mengikuti dari belakang menuju kandang rehabilitasi.
“Mahisha...kenapa kamu ke sini?” Rimba bertanya dengan tatapan heran.
“Kan aku bilang, mau nyusul...” jawabnya acuh tak acuh, sambil memainkan tali tas ransel di pundak.
Gadis muda ini adalah putri dari sahabat dekat Ayah. Dengan sikap kers kepala dan manjanya, sangat diragukan dia akan tahan berada di tempat ini. Mahisha miliki perasaan suka pada lelaki petualang ini. Meski kerap terganggu, namun Rimba tetap bersikap manis.
“Darimana kamu dapatkan owa jawa ini?”
“Beli di pasar gelap Kak, meskipun mahal, tapi untuk Kakak aku tak keberatan.”
Pria muda itu hanya gelengkan kepala. Tim yang lain menerima hewan ini, mereka memasukkan ke kandang bersamaan dengan si lutung. Tapi tetap ditempatkan terpisah.
“Baiklah kegiatan selanjutnya adalah membersihkan kandang!” suara Kang Dedi terdengar dari balik megaphone.
Setiap anggota memegang satu alat kebersihan. Jika tak ada acara kunjungan, maka petugas lokal yang setiap hari membersihkan kandang. Sekarang, tugas mereka adalah memberikan petunjuk bagaimana bersihkan kandang dengan benar.
“Nih pegang!” Rimba memberikan sapu lidi pada Mahisha.
“Apa ini?” tatapnya berubah nyinyir, “aku gak mau ikut bersihin kandang. Jorok, menjijikan, nanti semua virus yang ada di situ nempel ke tubuh aku...” tolaknya.
“Terus, kamu mau apa ke sini? Menonton?”
“Mau ajak Kakak pulang, toh aku sudah menyumbangkan binatang ke sini...” jawabnya sambil mendelikkan mata. Pongah.
“Aku tak akan pulang Mahisha, tak ada seorang pun dapat memaksa, terutama kamu. Sudahlah, gadis manja sepertimu sebaiknya diam di rumah. Sekolah dulu yang benar, jangan nge-mall terus...”
“Kalau begitu, aku mau di sini juga sama Kakak. Gak akan pulang!”
Kang Dedi dan Tara memperhatikan mereka dari jauh. Sambil tersenyum simpul. Sementara Cakra bersemangat bersihkan kandang bersama anggota lain. Kemudian memberi makan sore pada semua primata di sini.
“Sudahlah Rimba, biarkan gadis ini tinggal,” suara Kang Dedi yang kalem menengahi, “mari Dek, ikut saya, barangkali tasnya mau disimpan.”
Mahisha mengikuti dari belakang sambil merenggut. Kang Dedi melambai ke arah Tara, mengajak turut serta. Sementara Rimba memilih bergabung bersama tim B4N.
“Ini tempat apa?” Mahisha menyelidik dengan tatapnya ke sekeliling ruangan.
“Ruang penerimaan tamu, sekaligus tempat kami makan dan juga tidur saat malam hari,” perempuan berkerudung ini menjelaskan.
“Tanpa kasur? Gak ada kamar? Terus toilet di mana?”
“Betul sekali, beralaskan tikar dan ransel sebagai bantal,” Kang Dedi menimpali, “toilet ada di luar, 50 meter ke arah kanan.”
“Apa, bagaimana kalau malam mau ke toilet?” tanyanya lagi khawatir.
“Ada senter,” tambah Tara sambil memainkan flashlight di tangan, “gak usah khawatir, nanti Teteh antar.”
“Besok kita akan mendatangi tempat habituasi, di dalam hutan,” sambil menunjukkan foto kandang sosialisasi,” membuat gadis muda itu menatap Kang Dedi risih.
Bayangan hutan menyeramkan dengan berbagai binatang buas bermain di benak. Ngeri. Berpikir untuk merubah pendirian saat bersikeras tinggal.
“ Ini adalah lokasi pelepasan setelah mereka menjalani proses habituasi. Kami memastikan di tempat tersebut ada makanan dan bebas dari predator. Seperti harimau, beruang atau hewan buas lain.”
“Bagaimana Mahisha, tidak jadi pulang kan?” Tanya Rimba yang kini sudah ada di belakang mereka.
Mahisha enggan menjawab, dia melipat wajah. Keruscutkan bibir, kemudian keluarkan ponsel dan mendekatkan ke telinga, “Pak supir, kita pulang sekarang...”
Lalu ia melangkah sambil hentakkan kaki. Tanpa bicara sepatah kata pun. Meski khawatir Rimba akan jatuh hati pada perempuan yang dipanggil Teh Tara. Namun lebih menakutkan jika harus bertemu harimau di hutan.
***
Hari ini tim B4N didampingi Kang Dedi dan Tara. Berjalan menuju lokasi habituasi, habitat buatan berbentuk jaring atau open top enclosure. Sudah banyak primata yang ditempatkan di sini. Lamanya mereka tinggal tergantung dari indikator dari perubahan pola prilaku satwa. Antara lain pola makan, perilaku makan, serta sosialisai terhadap hewan lain.
Rimba mendekati Tara, mencoba berbasa basi, “Sudah lama kenal Kang Dedi?” Ah pertanyaan yang kurang mengena,sesal batinnya.
“Sudah lama, mungkin sekitar 4 tahun, sejak saya di sini, beliau selalu hadir saat Aspinall mengadakan kegiatan. Memandu langsung tamu dari Inggris dan Belanda. Bahkan menemani mereka belajar membatik dengan gambar primata.”
“Setelah ini, apa yang kita lakukan?” Tanya Rimba mengubah strategi pertanyaan.
“Selain yang dijelaskan Kang Dedi kemarin. Lokasi pelepasan harus ditinjau dari segi etnoprimatologi. Jangan sampai kita melepaskan mereka di kawasan masyarakat pemburu. Setelah semua siap, maka primata pun dilepaskan.”
Pria muda ini tak melepaskan tatapan dari wajah anggun Tara yang tengah memberikan penjelasan.
“Oh ya, kami juga melakukan pairing untuk hewan-hewan ini yaitu dicarikan pasangan yang tepat sehingga dapat berkembang biak. Tapi kami tetap memantau secara rutin dengan bantuan polisi hutan atau penduduk yang bersedia jadi sukarelawan. B4N memberikan bantuan berupa camera traps lengkap dengan baterainya saat harus diganti.”
Suasana semakin mencair, tiba-tiba Tara menirukan bunyi hewan predator, untuk melihat reaksi para primata di dalam kandang. Sambil meletakan boneka predator di depan kandang, ditarik ulur memakai tali, untuk mengenalkan mereka pada predator asli di alam liar.
“Berani masuk lebih jauh?” Tanya gadis ini dengan tatap menantang.
“Siapa takut,” jawab Rimba mantap, sambil mengekor dari belakang.
Habitat asli owa di bagian hutan lindung lebih dalam, “Lihat...itu owa yang beberapa waktu kami lepas. Dia berjodoh dengan owa penghuni asli. Mereka sekarang akan memiliki anak, si betina sedang hamil,” Tara berbisik.
Membuat Rimba terpesona dengan pemandangan yangterbentang di hadapan mereka. Berdecak kagum sambil mengucap Subhanallah.
“Berapa lama owa jawa hamil?”
“6 bulan,” jawab Tara, “kamu ingin melihatnya?”
Lelaki ini mengangguk dengan cepat, “kita akan berikan nama?”
“Tidak. Karena saat kita berikan nama, maka sulit untuk melepas mereka. Kadang rasa sayang yang kita miliki malah memberikan pengaruh tidak baik.”
“Kalau begitu, aku harus berikan kamu nama. Jadi akan sulit melepas hingga aku terus di sini sambil menunggu induk owa melahirkan.”
Pernyataan konyol barusan disambut tawa renyah perempuan ini, “Nama lengkapku Belantara, pemberian Kakek. Karena beliau sangat mencintai hutan dan alam bebas.”
“Sama seperti Kakek Bima. Aku tahu kenapa beliau memberi nama Rimba. Agar kita selalu bersama tak terpisahkan. Rimba Belantara.”
Kemudian tawa gadis dihadapannya kembali meledak. Namun langsung terdiam saat menatap raut serius milik Rimba.
“Kita lihat nanti,” jawabnya pendek.
###
Foto dari https://www.facebook.com/aida.widiawatyii
https://www.facebook.com/wijayaani